Kegiatan Vivat Internationale-WKRI Alor Perangi Perdagangan Orang, Penjualan Organ Tubuh Di Pasar Gelap

- 24 Februari 2022, 07:30 WIB
Pater Agus Duka foto bersama WKRI Alor
Pater Agus Duka foto bersama WKRI Alor /

 

MEDIA KUPANG - Tulisan pertama tentang kegiatan perangi persagangan orang yang digelar oleh Vivat Internationale dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Cabang Alor pada Senin 21 Februari 2022 di Aula SMA Katolik Santu Yoseph Kalabahi telah digambarkan secara lugas oleh Direktur Eksekutive Vivat Internationale, Pater Agus Alfons Duka, SVD mulai dari apa itu perdagangan orang, modus operandi perekrutan TKI tanpa dokumen resmi, cara kerja para calo, hingga nasib pilu yang dialami oleh para TKI yang dimaksud.

Bersambung dari tulisan pertama tersebut, kali ini dalam tulisan kedua Pater Agus dalam materinya menjelaskan tentang duka nestapa para TKI kita yang ibaratnya mengejar ringgit (mata uang Malasya) di negara orang dan kembali dengan kain kafan.

Menurut Pater Agus, TKI kita atau sekarang yang dikenal dengan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tidak prosedural ketika direkrut oleh calo ke Malaisya, kebanyakan mereka yang sekolahnya tidak tuntas, tidak tamat SD, tidak tamat SMP, dan tidak tamat SMA.

Mereka ini karena pengetahuannya terbatas, sehingga mudah ditipu, dirayu. Hal ini ditambah dengan faktor dorongan di daerah kita dengan lapangan pekerjaan yang terbatas, sulit mendapatkan pekerjaan, kebutuhan hidup meningkat (untuk memenuhi pangan, sandang, papan, dan Pulsa), dan adanya pengabaian dari Pemerintah dan Gereja.

Karena kondisi tersebut, sehingga ketika perekrut datang dengan iming-iming "surga", mereka langsung terhipnotis. Iming-iming ini sebagai faktor ketertarikan, yakni dijanjikan ada pekerjaan dan upah yang tinggi, pengiriman uang yang teratur ke kampung, ada anggota keluarga yang sudah dirantau menceritakan hal yang baik-baik, dan di Malaysia tidak sulit untuk mempelajari bahasa karena sesama rumpun melayu.

Para perekrut atau calo ini, ungkap Pater Agus, dalam operasinya perekrutan didanai sekitar Rp400 juta. Dana ini biasanya mereka menggunakan sebesar Rp25 juta untuk uang sirih-pinang istilahnya untuk orang tua korban. Akibat tergiur dengan banyaknya jumlah uang, sehingga orang tua merelakan anaknya untuk berangkat mencari nafkah yang berujung malapetaka di negeri orang.

TKI atau PMI yang direkrut non prosedural ini mengakibatkan mereka hidup tidak aman karena tidak ada jaminan perlindungan ditempat kerja, kerap diperlakukan tidak manusiawi mulai dari tempat penampungan hingga tempat tujuan kerja, menerima gaji tidak sesuai dengan standart upah resmi, dibatasi hak-haknya oleh pemberi kerja atau majikan, selalu hidup tidak tenang alias was-was karena takut ditangkap aparat keamanan, dan tidak ada asuransi (sakit, kecelakaan, dan kematian).

Nasib buram yang dialami TKI ilegal ini bukan berita bualan belaka, namun ini fakta. Data yang ada menunjukkan banyak TKI ilegal dari Indonesia, terutama dari daerah kita NTT banyak yang telah menjadi korban, mulai dari korban penipuan, penyiksaan, perbudakan hingga kematian.

Data mencatat mulai dari tahun 2016 hingga saat ini setiap tahunnya sekitar puluhan orang hingga 100 orang meninggal yang dikirim pulang dalam peti mati ke kampung halamannya di NTT. Dalam setiap minggunya hampir terjadi pengiriman jenasah TKI ke NTT.

Halaman:

Editor: Okto Manehat


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x