DPRD Lembata Pertanyakan Pungutan Rp 1 Juta Per Desa untuk Sukseskan Eksplorasi Budaya Lembata

- 14 Februari 2022, 23:16 WIB
Bupati Lembata, Thomas Ola memukul gong pertanda dimulainya kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata. Kegiatan akan dilaksanakan hingga 7 Maret 2022.
Bupati Lembata, Thomas Ola memukul gong pertanda dimulainya kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata. Kegiatan akan dilaksanakan hingga 7 Maret 2022. /Fre

MEDIA KUPANG – Belum usai silang pendapat soal ritual Sare Dame dalam Eksplorasi Budaya, merebak lagi rumor tak sedap. Ini menyangkut pungutan Rp 1 juta per desa untuk mendukung kegiatan Eksplorasi Budaya.

Anggota Badan Anggaran DPRD Lembata Anton Molan Leumara mensinyalir adanya pungutan liar alias pungli yang dilakukan dalam rangka mensukseskan pelaksanaan kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata. Pasalnya, kata dia, setiap desa “diwajibkan” menyiapkan anggaran sebesar Rp 1 juta untuk mensukseskan Eksplorasi Budaya Lembata.

Hal itu diungkapkan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anton Molan Leumara dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Lembata, Senin, 14 Februari 2022, di ruang rapat utama gedung DPRD Lembata.

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD, Fransiskus Gewura itu, Anton Leumara mengatakan, jika setiap desa diwajibkan mengalokasikan dana sebesar Rp 1 juta, maka terhimpun dana lebih kurang Rp. 144 juta.

Baca Juga: 27 Februari 2022, Tibo Monabesa Ditantang Petinju Filipina Jayson Vayson

Rapat Badan Anggaran DPRD Lembata dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) ini membahas penjadwalan ulang APBD 2022.

Tak cuma itu. Anton Leumara juga mempertanyakan pungutan dari sekolah-sekolah sebesar Rp 500 ribu per sekolah. Jika ada ratusan sekolah di Lembata menyetor Rp 500 ribu, maka akan ada begitu banyak dana yang dipungut untuk pelaksanaan Eksplorasi Budaya Lembata.

“Kalau pungutan itu dilakukan tanpa ada dasar yang jelas, maka masuk pungutan liar,” tegas Anton Leumara.

Padahal, kata dia, untuk perhelatan Eksplorasi Budaya Lembata, sudah disetujui anggaran sebesar Rp 2,5 miliar di APBD II Lembata tahun anggaran 2022.

Karena itu, ia mengingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam melakukan pungutan jika tanpa dasar hukum yang jelas.

Ia juga meminta pemerintah menunjukkan dasar aturan yang dipakai untuk meminta desa dan sekolah berkontribusi dalam urusan Eksplorasi Budaya Lembata.

“Dana 2,5 miliar itu cukup besar dan bisa akomodir kegiatan. Kalau libatkan sekolah dan desa kasih aturan agar bisa mereka pertanggungjawabkan dan jangan jadi persoalan saat dilakukan pemeriksaan,” tegas Anton Leumara.

“Pemerintah desa keluarkan Rp 1 juta, dan Rp 500 ribu setiap sekolah. Ngeri sekali, dana ini besar sekali,” tandas Anton Leumara.

Anggota Banggar DPRD Lembata lainnya, Petrus Bala Wukak dari Fraksi Partai Golkar, mempersoalkan usul penjadwalan ulang APBD Tahun Anggaran 2022. Sebab sudah ada program kegiatan yang dilaksanakan. Seperti kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata dan pendirian sejumlah lopo di lokasi Pantai Wulen Luo untuk mendukung kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata.

Bala Wukak mengatakan, pembangunan fisik yang bersumber dari dana APBD harus melewati mekanisme dan tahapan. Pembangunan sejumlah sarana di Pantai Wulen Luo untuk mendukung kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata harus ada mekanisme.

“Sudah lalui tahapan dan mekanisme atau tidak. PPK ada atau tidak, perencanaannya ada atau tidak. Jangan sampai tiba-tiba ada dan menyalahi aturan.”

“Mau dijadwalkan ulang, tapi ada APBD yang sudah dilaksanakan. Sare Dame, bangunan di Wulen Luo sudah dijalankan. Di satu sisi penjadwalan ulang, dan di sisi lain sudah ada yang sudah dijalankan. Hati-hati. Urusan keuangan ini dipertanggungjawabkan. Saya ingatkan hati-hati gunakan uang rakyat. Sudah tidak bisa rem lagi. Jadi saya ingatkan jangan sampai jatuh,” tegas Petrus Bala Wukak.

Informasi yang dihimpun MEDIA-KUPANG, jumlah dana yang dipungut dari desa-desa sangat bervariasi di setiap kecamatan. Ada kecamatan, yang dipungut Rp. 1 juta per desa. Ada juga kecamatan yang dipungut lebih besar lagi, hingga Rp 7 juta per desa. Tapi, ada juga kecamatan yang lebih rendah, sekitar Rp 250 ribu per desa.

Sejumlah kepala desa mengaku bingung menganggarkan dana yang diminta. “Bagaimana kami mendudukan anggaran itu dalam APBDes? Nomenklaturnya apa?” ujar mereka, bertanya-tanya.

Ada kepala desa malah menilai, Pemkab sengaja “menyuruh” mereka melakukan manipulasi pertanggungjawaban. Ya, “Ini sama dengan suruh kami tipu-tipu dalam pertanggungjawaban nanti,” ucap kepala desa yang minta namanya tidak ditulis.

Sementara menyangkut pungutan dari sekolah, kabarnya sudah dibatalkan Kepala Dinas Pendidikan, Anselmus Bahy. Malah, ia meminta stafnya mengembalikan duit yang sudah terlanjur dipungut. “Tapi, ada uang yang sudah dipakai pejabat yang memungut dari sekolah itu,” ujar sumber MEDIA-KUPANG seraya menambahkan bahwa Kadis Pendidikan menyatakan pemanfaatan dana yang dipungut menjadi tanggungjawab pribadi. ***

Editor: Fredrikus Wilhelmus Wahon


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah