Aparat Myanmar Kembali Tembaki Demonstran Sehari setelah Pembakaran Pabrik Cina

15 Maret 2021, 18:53 WIB
Relawan palang merah Myanmar membawa seorang demonstran yang ditembak pasukan keamanan saat unjuk rasa anti-kudeta militer di Thingangyun, Yangon, Myanmar 14 Maret 2021 /REUTERS/Stringer/

MEDIAKUPANG - Pasukan keamanan Myanmar menembaki demonstran pro-demokrasi pada Senin dan menewaskan dua orang, kata saksi mata, sehari setelah puluhan pengunjuk rasa ditembak mati dan penyerang membakar beberapa pabrik didanai Cina di kota Yangon.

Pendukung pemimpin demokrasi yang ditahan Aung San Suu Kyi kembali turun ke jalan, termasuk di Mandalay dan pusat kota Myingyan di mana polisi melepaskan tembakan, kata dua saksi.

"Mereka menembaki kami. Seorang gadis tertembak di kepala dan seorang anak laki-laki tertembak di wajah."kata seorang pengunjuk rasa berusia 18 tahun di Myingyan, dikutip dari Reuters, Senin 15 Maret 2021. 

Para pengunjuk rasa turun ke jalan menentang penggunaan kekerasan oleh pihak berwenang, dengan puluhan orang tewas pada hari Minggu dimana merupakan hari paling berdarah sejak kudeta 1 Februari.

Korban jiwa dilaporkan di seluruh negeri, termasuk lebih dari 30 kematian yang dikonfirmasi di kota-kota Yangon Hlaing Tharyar, Thingangyun, Shwepyithar, dan Dagon Selatan pada hari Minggu, seperti dilaporkan Myanmar Now.

Ratusan lainnya terluka, banyak di antaranya kritis, karena pasukan keamanan menggunakan peluru tajam melawan warga sipil dalam upaya untuk meneror demonstran agar menyerah.

Sementara serangan pembakaran pabrik pada hari Minggu tersebut mendapat kecaman keras dari  Cina, di mana banyak orang Myanmar yang menganggap Cina mendukung kudeta tersebut.

Kedutaan Besar Cina mendesak para jenderal yang berkuasa di Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan memastikan keselamatan orang dan properti.

Surat kabar Cina, Global Times, mengatakan 32 pabrik yang diinvestasikan Cina diserang, yang menyebabkan kerusakan senilai US$ 37 juta (Rp 532,7 miliar) dan dua karyawan Cina terluka.

Jepang, yang telah lama memperebutkan pengaruh di Myanmar dengan Cina, mengatakan sedang memantau situasi dan mempertimbangkan bagaimana menanggapi dalam hal kerja sama ekonomi.

Pertumpahan darah terburuk hari Minggu terjadi di pinggiran Yangon di Hlaingthaya di mana pasukan keamanan menewaskan sedikitnya 37 pengunjuk rasa setelah serangan pembakaran di pabrik-pabrik milik Cina, kata seorang dokter di daerah itu yang menolak untuk disebutkan namanya.

Enam belas orang tewas di tempat lain, kata Assistance Association for Political Prisoners (AAPP). Seorang polisi juga dilaporkan tewas, kata AAPP.

Media mengatakan darurat militer telah diberlakukan di Hlaingthaya dan beberapa distrik lain di Yangon, dan di beberapa bagian kota kedua Mandalay.

Kematian terbaru membuat total jumlah korban dari protes menjadi sekitar 140 sejak kudeta 1 Februari, berdasarkan penghitungan oleh AAPP dan laporan terbaru.

Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan Reuters untuk meminta komentar

Dalam upaya untuk menekan berita tentang kekacauan tersebut, penyedia layanan telekomunikasi diperintahkan untuk memblokir semua data seluler secara nasional, kata dua sumber yang mengetahui masalah tersebut. Telecom Telenor mengatakan dalam sebuah pernyataan "internet seluler tidak tersedia".

Kawasan industri Hlaingthaya adalah tempat bagi para migran dari seluruh Myanmar. Pada hari Minggu, pasukan keamanan melepaskan tembakan saat asap hitam mengepul dari pabrik.

Kedutaan Besar Cina menggambarkan situasi sangat parah setelah serangan terhadap pabrik-pabrik yang dibiayai Cina, dan mendesak pihak berwenang "untuk menghentikan semua tindakan kekerasan, menghukum para pelakunya sesuai dengan hukum, dan memastikan keselamatan jiwa dan properti perusahaan Cina dan personelnya".

Sentimen anti-Cina telah meningkat sejak kudeta, dengan demonstran penentang kudeta telah melihat Cina diam merespons kudeta dibandingkan dengan negara Barat yang sangat mengecam kudeta.

Surat kabar Global Times menyalahkan para penghasut atas pembakaran dan menyerukan hukuman mereka. Global Times megatakan Cina berusaha untuk mempromosikan penyelesaian krisis secara damai.

Pemimpin protes antikudeta, Thinzar Shunlei Yi, mengatakan orang Myanmar tidak membenci orang Cina, tetapi penguasa Cina harus memahami kemarahan yang dirasakan di Myanmar atas sikap mereka.

"Pemerintah Cina harus berhenti mendukung dewan kudeta jika mereka benar-benar peduli dengan hubungan Sino-Myanmar dan untuk melindungi bisnis mereka," katanya di Twitter

Tom Andrews, penyelidik hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar, mengimbau negara-negara anggota PBB untuk memotong pasokan uang tunai dan senjata ke militer.

"Patah hati/marah atas berita tentang jumlah terbesar pengunjuk rasa yang dibunuh oleh pasukan keamanan Myanmar dalam satu hari. Pemimpin junta tidak seharusnya berkuasa, mereka seharusnya di balik jeruji besi," katanya di Twitter.

Militer Myanmar mengatakan pihaknya mengambil alih kekuasaan setelah ada kecurangan dalam pemilu 8 November yang dimenangkan secara telak oleh Partai NLD Suu Kyi. Tetapi klaim kecurangan ini ditolak oleh komisi pemilihan umum.

Junta militer berjanji akan menggelar pemilu baru, tapi belum menetapkan tanggal.

Negara-negara Barat telah menyerukan pembebasan Suu Kyi dan mengutuk kekerasan tersebut. Negara-negara ASEAN telah menawarkan untuk membantu menyelesaikan krisis, tetapi Myanmar memiliki catatan panjang menolak intervensi dari luar.***

Editor: Marselino Kardoso

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler