Sengketa Lahan 30 Hektar di Mabar Timbulkan Perdebatan Hukum, Petrus:Langkah Kejaksaan Prematur

- 24 Desember 2020, 23:12 WIB
/

Menurut Salestinus, meski Kejaksaan sudah melangkah jauh dalam proses pidana korupsi dan sebentar lagi akan menetapkan pihak lain sebagai tersangka, tetapi satu hal yang masih misteri adalah bukti pemilikan Pemda Mabar atau alas hak atas lahan 30 Ha.

Pembuktian kepemilikan Pemda Mabar atas lahan seluas 30 Ha, jelas Salestinus, merupakan pintu masuk menentukan terbukti atau tidaknya dugaan korupsi dan memastikan kerugian negara yang nyata dan pasti.

“Proses pidana yang sedang berjalan saat ini, merupakan langkah yang premature. Seharusnya Kejaksaan bertindak selaku Pengacara Negara mewakili Pemda Mabar menyelesaikan aspek perdatanya terlebih dahulu. Guna memastikan bukti yuridis berupa AJB atau Akta Hibah dan bukti fisik berupa luas, batas dan letak obyek tanah, satu dan lain guna menghindari terjadinya “error in persona” dan “error in objecto”, jika Kejaksaan menempuh proses pidana,” ujar Koordinator TPDI ini.

 - Terlalu Berani dan Spekulatif

Menurut Petrus Kejaksaan terlalu berani dan spekulatif membangun konstruksi hukum mengkategorikan sengketa tanah ini sebagai tindak pidana korupsi. Selain itu aksi publisitas yang tinggi dengan mengabaikan aspek kehati-hatian terus terjadi sehingga melahirkan pemberitaan yang bersifat memfitnah nama besar Gories Mere, Karni Ilyas dan lain-lain. Yang pada gilirannya, ada konsekuensi hukum berupa tuntutan balik dari pihak-pihak yang nama baiknya dicemarkan.

Sebagai Pengacara Negara, kata Petrus, Kejaksaan seharusnya memperkuat dahulu posisi pemilikan Pemda Mabar atas lahan 30 Ha melalui upaya perdata.

"Bukan hanya publik tetapi Bupati Mabar Gusti Ch Dula-pun tahu bahwa Pemda Mabar belum punya alas hak, sehingga dari mana Penyidik “menakar” kerugian negara sebesar Rp.3 triliun dan secara tendensius menghakimi nama besar Gories Mere secara gegabah dan tidak bertanggung jawab, kelak akan ada konsekuensi hukumnya,” ucap Advokat Peradi ini.

Petrus Selestinus mengharapkan proses penegakan hukum di NTT dilakukan secara hati-hati dan menghindari upaya pencemaran nama baik orang lain.

“Praktek Penegakan Hukum, khususnya pemberantasan korupsi di NTT, dengan pemberitaan media yang bombastis dan sensasional sebagaimana terjadi dalam penanganan kasus 30 Ha lahan di Mabar harus diakhiri. Karena publik NTT sering dikecewakan oleh praktek penegakan hukum yang “digdaya” di awal namun “loyo” di ujung. Banyak menebar fitnah tanpa feedback mengembalikan kerugian Negara. Karena itu hal serupa jangan sampai terjadi lagi di NTT,” tutupnya. ***

Halaman:

Editor: Marselino Kardoso


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x