Kapolres Sikka Minta Maaf ke Pihak Ledalero Gara-gara Kelakuan Anak Buahnya

- 1 Oktober 2022, 10:41 WIB
Kapolres Sikka foto bersama pihak Ledalero
Kapolres Sikka foto bersama pihak Ledalero /AS Rabasa /

MEDIA KUPANG - Gara-gara ulah anak buahnya, Kapolres Sikka harus berhadapan dengan pihak Ledalero.

Hal itu karena aparat Satlantas Polres Sikka salah menginterogasi dan menuduh hal yang tidak dilakukan oleh para Frater dan Bruder Ledalero.

Akhirnya, pihak Ledalero bersama para pemerhati keadilan menyambangi Kapolres Sikka untuk meminta klarifikasi.

Baca Juga: Polisi Interogasi Para Frater SVD Ledalero dan Menuduh Teriakan Nama Sambo

Menanggapi itu, Kapolres Sikka AKBP Nelson Filipe Diaz Quintas, S.I.K. menyatakan permohonan maaf terkait sikap aparat Satlantas Polres Sikka yang telah menginterogasi dan menuduh para Frater dan Bruder Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero meneriakkan "Sambo" saat pulang belanja pagi.

Permohonan maaf itu disampaikan ketika kelompok yang berasal Seminari St. Paulus Ledalero, TRUK, Candraditia, serta BEM Mahasiswa IFTK Ledalero mengadakan dialog bersama Kapolres.

Permohonan maaf itu disampaikan ketika kelompok yang berasal Seminari St. Paulus Ledalero, TRUK, Candraditia, serta BEM Mahasiswa IFTK Ledalero mengadakan dialog bersama Kapolres.

"Saya sebagai Kapolres, saya meminta maaf kepada rekan-rekan yang mungkin kemarin mungkin kecewa atas tingkah laku dari anggota saya, saya minta maaf, mungkin atas kejadian kelakuan saya, saya minta maaf, mungkin kurang profesional," ujar AKBP Nelson.

Baca Juga: KKB OPM Menyerang dan Menewaskan 13 Warga Sipil, Negara Tidak Boleh Diam Saja

AKBP Nelson juga menyatakan akan berkoordinasi dengan Satlantas dan menegur aparat yang telah melakukan tindakan yang kurang baik itu.

Selanjutnya, AKBP Nelson juga menjelaskan bahwa tujuan penugasan Satlantas di jalan adalah untuk mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas. 

Terkait kejadian aparat Satlantas yang menginterogasi para Frater dan Bruder itu, AKBP Nelson mengaku tidak mengetahuinya ketika kejadian itu berlangsung.

Meneriakkan kata "Sambo" bukanlah tindakan kriminal. Hal itu disampaikan oleh AKBP Nelson menanggapi pertanyaan Bapak Siflan Tangi.

"Seandainya ada pemuda meneriakkan Sambo, kriminalnya itu di mana?" tanya Bapak Siflan.

"Ngga ada pak, ngga ada," jawab AKBP Nelson.

Baca Juga: Jalan Kecil Masuk Surga : Wasiat Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus

AKBP Nelson juga menyatakan bahwa ia juga sudah menyampaikan agar aparat tidak mudah tersinggung dengan kata-kata yang berasal dari masyarakat.

Pada kesempatan itu, Bruder Legi Oki, SVD mewakili rombongan yang dituduhkan dan diinterogasi sebelumnya mengaku bahwa perlakuan yang mereka dapatkan pada Kamis, 29 pagi itu sangat menggangu aktivitas mereka.

Bruder Legi juga menceritakan kronologi kejadiannya, yang berawal dari seorang aparat kepolisian yang mendekati mobil biara dan bertanya, "Siapa yang teriak 'Sambo'?"

"Saya bertanya ke teman-teman, mereka menjawab tidak ada. Saya bertanya dua kali ke mereka siapa yang berteriak Sambo. Mereka jawab tidak ada," cerita Bruder Legi.

Baca Juga: Ini Beberapa Penganiayaan yang Dialami Artis Lesti Kejora

Pada kesempatan itu, aparat tersebut berusaha agar tuduhannya benar, bahkan sampai meminta sumpah.

"Lalu polisi tersebut berusaha untuk menang, berusaha agar ada yang mengaku sampai diminta untuk sumpah," lanjutnya. 

Pada kesempatan yang sama, Pater Otto Gusti Madung, SVD selaku Rektor IFTK Ledalero mengaku bahwa pihaknya mendukung hal-hal baik yang dilakukan oleh pihak kepolisian, hal-hal yang positif untuk kepentingan publik.

Lanjutnya, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik, tentu akan ada kontrol sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, sebagai bagian dari Tri darma perguruan tinggi, lewat kontrol kehidupan publik.

Baca Juga: Putri Candrawathi Akhirnya Mengenakan Kaos Orange 077

Namun, Pater Otto juga menyatakan kecemasannya pada Polisi sebagai simbol kekuasaan negara menjadi simbol tindakan represif, contohnya sikap polisi atas mahasiswa IFTK Ledalero yang dituduh meneriakkan "Sambo" itu.

"Untuk kami itu simbol represif, membuat publik takut," ujar Pater Otto.

Menurut Pater Otto, teriakan "Sambo" itu kalau memang terjadi bukan sebuah tindakan kriminal, tapi ungkapan kemarahan masyarakat yang sudah membayar pajak terhadap kinerja kepolisian. 

Kami juga meminta aparat kepolisian untuk tidak bertindak represif terhadap warga masyarakat sipil yang sedang mengekspresikan kebebasan berpendapatnya," lanjutnya.

Baca Juga: Guest is King : Semboyan SMK Sadar Wisata Ruteng

Lebih lanjut, interogasi terhadap sejumlah mahasiswa untuk soal kecil seperti itu merupakan cara-cara represif yang digunakan oleh aparat keamanan ulntuk membungkam suara kritis publik dan hal itu tidak boleh dibiarkan.

"Demokrasi hanya mungkin hidup jika masyarakt boleh bersuara kritis di ruang publik," tegas Pater Otto.***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor: AS Rabasa


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah