Setelah ritual pembersihan sumur dan naga, barulah digelar ritual Lede Lewu. Waktunya ditentukan dalam musyawarah desa. Kepala desa bertugas mengundang warga masyarakat. “Tidak boleh pake surat undangan. Hanya diperbolehkan menggunakan pengeras suara untuk meminta masyarakat berkumpul. Dalam rapat itulah diputuskan waktu pelaksanaan ritual,” jelas kades Dikesare.
Dalam ritual Lede Lewu, setiap keluarga menyiapkan sokal (wadah yang terbuat dari ancaman daun lontar) berukuran kecil. Setiap keluarga menyediakan dua sokal kecil. Satu sokal kecil untuk arwah perempuan, dan satunya lagi untuk arwah laki-laki.
Sesuai waktu yang sudah ditentukan, tua adat membunyikan seng atau benda lainnya di rumahnya, diikuti warga lainnya. Riuh rendah dan hingar-bingar pun terjadi di dalam Kampung Lewolein. Ini dimulai pukul 16.30 Wita, Sabtu (19/2/2022).
Tradisi menggelar Ritual Lede Lewu ini dipercayai menjadi ritual mengusir sial, mengeluarkan semua sakit penyakit dan roh jahat lainnya dari dalam rumah untuk dibawa dan dibuang di laut.
Kemudian, masing-masing keluarga membawa dua sokal yang di dalamnya sudah diisi biji kewakat (biji bakau), biji asam, buah sirih dan buah pinang.
Bahan yang ada di dalam sokal kecil itu dipercayai sebagai bekal para arwah leluhur menuju alam mereka yang oleh masyarakat adat setempat disebut "Lewo Nitu Heri Neda".
Setelah dibawa menuju ke laut, sokal kecil tadi lalu digantungkan pada tiang bambu yang telah disediakan oleh tua adat yang bertugas dalam ritual ini.
Setelah itu, semua warga kembali ke rumah dan menyiapkan diri menyambut malam yang harus dilalui dalam kegelapan selama tiga malam.
Bartolomeus Bosi Paliwala, Lewonimun Tana Alap, yang juga pemilik ulayat menjelaskan, Ritual Lede Lewu telah ditanamkan sejak nenek moyang di kampung ini dan dilanjutkan oleh anak cucu.