Buron Selama 22 Tahun, Perampok Uang Tentara Edi Sampak Berhasil Ditangkap, Begini Kisahnya

- 5 Februari 2022, 11:32 WIB
Edi Sampak
Edi Sampak /Tangkapan layar YouTube Umbra Skull/

MEDIA KUPANG - Eddy Maulana Sampak alias Eddy Sampak adalah seorang Sersan Mayor AD yang kala itu bertugas di Kodim Cianjur. Ia merupakan terpidana mati usai didakwa bersalah atas kasus perampokan dan pembunuhan.

Mengutip dari kanal YouTube UMBRA SKULL, Sabtu 5 Februari 2022, peristiwa mengerikan itu terjadi pada 20 Agustus 1979. Saat itu menjelang Lebaran, warga kota cianjur di kejutkan dengan peristiwa perampokan berdarah dingin. Empat orang tewas di tempat, satu meninggal di rumah sakit. Empat lainnya luka-luka.

Korban tewas adalah Sersan Sutardjat, Daeng Rusyana, Djudjun, Sugandi, dan seorang lelaki yang tak diketahui namanya. Mereka diberondong tanpa ampun.

Kronologi Kejadian

Hari nahas itu, Sersan Mayor Sutardjat, yang merupakan juru bayar Kodim 0608 Cianjur, bertugas mengambil gaji pegawai di Bank Karya Pembangunan, Sukabumi, Jawa Barat. Ia ditemani Enung Sumpena dan dua pegawai sipil, Daeng Rusyana dan Djudjun.

Setelah selesai mengambil uang gaji itu, kemudian mereka ke kantor Kodim Sukabumi, untuk memasukan uang gaji ke amplop – amplop yang telah disediakan.

Saat itu, muncul Sersan Mayor Eddy Sampak. Eddy minta gajinya diberikan duluan. Katanya untuk beli bensin. Karena tak mau melanggar prosedur, Sutardjat hanya meminjamkan uang alakadar miliknya.

Siang harinya rombongan Sutardjat pulang ke Cianjur menumpang minibus Colt bernomor polisi D-5791-G, yang dikemudikan Iding dengan kenek Sugandi. Eddy bersama temannya bernama Odjeng ikut menumpang. Mereka duduk-duduk di bangku belakang.

Masuk Cianjur, di daerah Gekbrong, Eddy minta sopir belok ke perkebunan teh. Eddy beralasan hendak mengambil kambing. Setiap menjelang Lebaran, lelaki ini memang kerap menjual daging kambing kepada rekannya.

Karena itu, sopir manut saja. Penumpang lain juga tak keberatan. Melewati kampung kecil nan senyap, Eddy minta sopir menepikan kendaraan.

Waktu menunjukkan pukul 13.30. Saat itulah Eddy mengeluarkan senjata Carl Gustaf dari tas jinjingnya.

Senjata itu berikut amunisinya diketahui hilang dari gudang, beberapa bulan sebelumnya. Tanpa banyak bicara, Eddy langsung mengarahkan moncong senjata, kearah teman – temannya, yang kemudian memuntahkan puluhan butir timah panas, secara membabi buta. Setelah itu, Eddy kemudian membakar minibus berisi penumpang yang terluka tembak. Eddy dan Odjeng kabur menggondol duit gaji pegawai Rp 21,3 juta.

Perburuan Sang Pembunuh.

Tanpa disadari oleh Eddy dan Odjeng, Enung Sumpena salah seorang korban, dapat menyelamatkan diri dari kobaran api. Enung Sumpena pada saat itu duduk di dekat pintu mobil. Enung tertembak di bahu kanannya.

Enung Sumpena, yang melarikan diri terhuyung-huyung, ditolong dua pemuda dusun yang membawanya kepada kepala desa setempat. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit di Sukabumi. Nyawanya terselamatkan. Enunglah yang melapor perihal ulah Eddy Sampak.
Perburuan besar-besaran melibatkan petugas gabungan TNI-Polri pun dikerahkan.

Perburuan tersebut membawa hasil. Sepekan berselang, 28 Agustus 1979, Eddy ditangkap di Desa Cigintung. Kaki dan pantatnya luka memborok akibat baku tembak dengan petugas keamanan beberapa hari sebelumnya di Pasirdatarwatu.

Odjeng tertangkap pada 24 Agustus di Desa Nagrak. Dari tangan Odjeng, petugas menyita duit Rp 734.000. Petugas menemukan lagi Rp 1,3 juta yang ditanam di sawah. Sedangkan dari Eddy disita Rp 3,75 juta. Total uang yang disita, termasuk dari kerabat Eddy, berjumlah Rp 20 juta lebih.

Kabur dari Penjara Pada 13 Juni 1981

Pengadilan Militer Priangan-Bogor memvonis Eddy dengan hukuman mati, yang dikuatkan keputusan Mahkamah Agung. Eddy mengajukan grasi, tapi ditolak. Pada 24 Desember 1984, ia nekat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Inrehab Cimahi.

Kaburnya Eddy bikin gempar lagi. Banyak pihak waswas, terutama korban selamat, Enung Sampena. Enung merasa ketakuatan serta stress, terlebih ia yang melaporkan Eddy Sampak. Eddy, bagai hilang ditelan bumi. Selama bertahun-tahun petugas tak berhasil mengendus jejak Eddy.

Tertangkap Setelah Buron 22 Tahun

22 tahun kemudian, barulah Eddy Sampak ditangkap kembali. Jejaknya terendus karena kelalaiannya mencantumkan nama di sebuah surat kabar! Ya, nama Eddy Sampak tertera dalam susunan “Pembina” sebuah suratkabar di Banten!!! Mengapa ia begitu ‘bodoh’ memakai nama aslinya?

Lantas, kemana saja Eddy Sampak selama buron? (tahukah Anda, dia pernah dua kali berurusan dengan polisi, tanpa ada yang tahu bila ia sesungguhnya adalah buronan kelas kakap?; Eddy Sampak bahkan pernah membangun mesjid di Sumatera Selatan…) Mengapa ia begitu sulit ditangkap? Benarkah Eddy Sampak punya ilmu menghilang?

Proses penangkapannya cukup mulus. Jauh pula dari kesan hiruk-pikuk lazimnya mencokok penjahat berbahaya. Tanpa todongan pistol, apalagi rentetan tembakan. Malah bentakan pun sepi. Mungkin lantaran sasarannya sudah sepuh.

Mula-mula petugas mengetuk pintu rumah target, Senin malam dua pekan silam. Rumah itu terletak di kawasan Jayanti, Tangerang, Banten. Berlagak sebagai tamu, petugas tadi menyapa ramah. ”Saya dari Garut,” ucapnya, sembari menyalami tuan rumah, seorang lelaki gaek.

Selagi tuan rumah keheranan, si tamu memborgolnya cekatan. ”Bapak ikut kami,” katanya. Tak lupa si tamu juga berpamitan pada nyonya rumah. Mereka kemudian meluncur menggunakan mobil Toyota Kijang yang diparkir dekat situ.

Lelaki gaek itu pasrah. Mulanya ia mengira diculik dan akan dibunuh. Setibanya mobil di Pemasyarakatan Militer (Masmil) Cimahi, Jawa Barat, barulah ia ngeh telah dicokok polisi militer. Berakhir sudah pelariannya selama 22 tahun.

Pria tua tadi tak lain Eddy Maulana Sampak, ”legenda hidup” perampok dan pembunuh berdarah dingin dari Cianjur, Jawa Barat. Terpidana mati yang saat itu berusia 67 tahun itu berhasil kabur dari Inrehab Cimahi (sekarang Masmil) pada 1984.

Tertangkapnya lagi bekas anggota Komando Distrik Militer (Kodim) 0806 Cianjur itu sangat melegakan Enung Sumpena, 65 tahun, saksi kunci kasus menggegerkan tersebut.

Petualangan Eddy Sampak
Kaburnya Eddy bikin gempar lagi. Banyak pihak waswas, terutama Enung Sampena. ”Saya sampai stres karena takut,” tuturnya. Apalagi, selama bertahun-tahun petugas tak berhasil mengendus jejak Eddy.

Ke mana saja Eddy bertualang? Penuturan Eddy kepada petugas, dari Cimahi ia langsung ke Serang, Banten. Eddy kemudian mengantongi kartu tanda penduduk dengan nama Shiddiq. Dia kemudian berkeliling ke sejumlah kota, seperti Palembang, Lampung, Jambi, dan Bengkulu.

Eddy menggeluti banyak profesi. Dari pedagang hingga menjadi ustad. Lelaki asal Banten ini rajin mengirim wesel pos kepada istri ketiganya, Saeti, yang tinggal di rumah sederhana di Jayanti, Tangerang. Saeti, janda tiga anak asli Tangerang, dikawininya sebelum pembantaian itu terjadi.

Merasa aman, Eddy kemudian menetap di kota itu. Tak jelas sejak kapan. Menurut tetangganya, sudah sangat lama. Warga pun tahu siapa sebetulnya suami Saeti ini. Kepada warga, Eddy bilang kasusnya sudah selesai. Warga percaya.

Desember lalu, beberapa kenalan Eddy mengajaknya menerbitkan koran dan tabloid. Eddy setuju. Celakanya, ia nekat memakai kembali nama aslinya, kendati agak diubah susunannya: Maulana Eddy Sampak.

Nama ini tercantum dalam masthead di tabloid berita Alternatif dan koran Surya Pos Banten. Di dua media cetak itu, Eddy masing-masing menjadi pembina dan penasihat. Agaknya nama terang itulah yang tercium petugas keamanan. Eddy akhirnya tertangkap.

Ny. Saeti, 55 tahun, berharap suaminya bisa diampuni. ”Sudahlah, dia sudah tua, bungkuk dan tangannya sulit digerakkan,” ujarnya sedih. Tapi harapannya ini agaknya sia-sia.

Sebuah sumber di Polisi Militer Kodam III/Siliwangi mengatakan, Eddy tetap akan dieksekusi. ”Kami menunggu tim eksekutor untuk melaksanakan pidana mati Eddy Sampak,” kata sumber itu. Eddy sendiri dikabarkan pasrah.

Dendam Gagal Jadi Lurah

Melansir dari Sukabumi.xys, pembunuhan terhadap Serma Sutarjat dirancang oleh Eddy Sampak, karena dia merasa dendam terhadap rekannya itu. Pasalnya, karena Sutarjat, ambisi Eddy untuk menjadi Kepala Desa Nagrak, Kabupaten Cianjur, gagal
total.

Berdasarkan dokumentasi pemberitaan “Pikiran Rakyat”, sejak Agustus-September 1979, diketahui Eddy Sampak sudah
berkorban banyak untuk menjadi Kepala Desa Nagrak.

Dia gagal memenuhi kuorum pada pemilihan Kepala Desa Nagrak, 22 November 1978. Eddy hanya mendapat 786 suara dari jumlah pemilih dua ribu orang. Sisanya menumpuk di bumbung tak bertuan.

Karena kondisi itu, Eddy tidak bisa menjadi kepala desa. Yang membuat dia semakin marah, Dandim 0608 Letkol Kahya, malah menawarkan jabatan kepala desa sementara kepada Serma Sutarjat, rekan Eddy yang
sama-sama bertugas di Kodim Cianjur.

Akan tetapi, menurut Suwangsih, saat itu Sutarjat menolak permintaan itu. Suwangsih mengatakan, almarhum suaminya pernah menceritakan “penugasan” atasannya itu kepadanya.

Kecewa dengan kekalahannya, Eddy menuduh panitia pemilihan melakukan permainan. Dia juga merasa Sutarjat dan Kahya telah menghalangi niatnya. Dia pun berniat membunuh keduanya.

Sementara, dari berbagai informasi yang diperoleh “Pikiran Rakyat” saat itu, beberapa minggu menjelang aksinya, Eddy sempat akan menyogok petugas jaga gudang senjata.

Dia meminta petugas untuk mengeluarkan 250 butir peluru Carl Gustaf dan lima buah granat. Tapi petugas jaga itu menolak permintaan itu.

Namun, tampaknya dia berhasil mencuri senjata Carl Gustav dan pelurunya. Senjata itu yang dipersiapkannya untuk membunuh orang-orang yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Sutarjat, Kahya, dan Bupati Cianjur
saat itu Ir. Adjat Sudradjat.

Tampaknya, membunuh Kahya dan Bupati bukanlah hal mudah. Karena itu, dia susun sebuah rencana pembunuhan.

Rupanya Eddy menyimpan dendam akibat kegagalannya menjadi Kepala Desa Nagrak padahal ia telah menghabiskan Rp 3 juta hasil jual sawah dan utang kiri-kanan.

Itulah alasannya kenapa ia merampok. Eddy merasa komandannya menghalangi langkahnya menjadi kepala desa. Apalagi, sang komandan menawarkan posisi kepala desa yang kosong kepada Sutardjat yang ia bunuh. Kendati Sutardjat menolak tawaran itu, tetap saja Eddy mendendam.

Pengadilan militer Priangan-Bogor lalu mengganjar Eddy hukuman mati pada 13 Juni 1981. Mahkamah Agung (MA) telah menguatkan putusan ini. Eddy pernah mengajukan grasi tapi ditolak. Akhirnya, pada 24 Desember 1984 Eddy nekat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Inrehab Cimahi.

Menghabiskan Masa Tua di Nusa Kambangan

Kini, Eddy Sampak alias Abah Eddy, begitu ia dipanggil oleh sesama napi, menghabiskan masa tuanya di penjara Nusa Kambangan. Usianya sudah 82 tahun dan tidak jelas apakah ia akan dieksekusi mati atau tidak. Abah Eddy kini lebih banyak beribadah dan mendekatkan diri pada tuhan. Walaupun usianya sudah tua, namun ia nampak sehat secara fisik dan mental. Ini dia rekaman video Abah Eddy pada April 2016 yang kalian bisa temukan di Youtube.

Itulah dia sekelumit kisah tentang penjahat legendaris Eddy Sampak. Sekali lagi, dengan tidak bermaksud membenarkan kejahatan yang sudah ia sesali dan jalani hukumannya.***





Editor: Marselino Kardoso

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah