Kasus Polisi Tembak Warga Sipil di Kabupaten Belu, Bolehkah Aparat Polres Belu Menembak? Simak Aturannya

- 28 September 2022, 19:32 WIB
Dalam kasus oknum polisi tembak warga sipil di Kabupaten Belu, simak aturan hukum yang memungkinkan aparat Polres Belu melakukan penembakan terhadap Eton.
Dalam kasus oknum polisi tembak warga sipil di Kabupaten Belu, simak aturan hukum yang memungkinkan aparat Polres Belu melakukan penembakan terhadap Eton. /Ilustrasi penembakan/Pixabay/ Free Photos.

MEDIA KUPANG – Peristiwa polisi tembak warga sipil, bukan kasus baru di Indonesia. Umumnya, kasus penembakan oleh polisi dilakukan atas dasar upaya pengamanan.

Tidak sedikit juga penembakan yang dilakukan aparat kepolisian menjadikan warga sipil sebagai korban, dengan dalih pembelaan diri.

Dalam laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pada 2021 lalu, terdapat 651 kekerasan yang dilakukan oleh Polri terhadap warga sipil. Data tersebut dihimpun KontraS dalam periode Juni 2020 hingga Mei 2021.

Baca Juga: Pencinta Motor Trail Mau Uji Nyali , Ayo Ke Alor Bulan Oktober Ada Trabas Digelar Kodim 1622 Dan ATA

Hal itu berarti, akumulasi kasus polisi tembak warga sipil melebihi jumlah tersebut. Dari total kasus yang dihimpun KontraS di atas, jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan.

Sebanyak 13 orang tewas, dan 98 orang terluka. Kasus polisi tembak warga sipil merupakan dampak dari penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan tindak kesewenang-wenangan aparat kepolisian.

Dilansir dari situs resmi KontraS, satuan tingkatan yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap warga sipil adalah Polres.

Terkait satuan itu, kasus terbaru terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada 27 September 2022, seorang warga sipil berinisial NDL alias Eton tewas, diduga ditembak oleh oknum anggota polisi dari Buser Satreskrim Polres Belu.

Pemuda berusia 18 tahun asal Tasifeto Barat, Kabupaten Belu itu, sebelumnya menjadi buronan setelah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pihak Polres Belu.

Hal itu, akibat dirinya terlibat dalam tawuran bersama sopir tangki air pada 6 September 2022 lalu di Fatubenao, Kelurahan Kota Atambua, Kabupaten Belu, NTT.

Eton, tewas ditembak polisi setelah berusaha melarikan diri dari penangkapan di Motamaro, Desa Tasain, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu. Sebelumnya, ia selalu berhasil meloloskan diri setiap kali diburu tim Buser Polres Belu.

Baca Juga: Total Dana Bantuan Rp1 Miliar Lebih untuk Korban Badai Seroja di Kota Kupang Lenyap? Sekda: Diterima Wali Kota

Lantas, dari kasus polisi tembak warga sipil, adakah aturan hukum yang memperbolehkan aparat kepolisian melakukan penembakan? Simak simpulan MediaKupang.com yang dilansir dari Hukum Online.

Dalam Undang-Undang Nomo 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 16 menjelaskan, hal yang menjadi wewenang kepolisian yaitu melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dan kewenangan lainnya.

Terkait penggunaan senjata api sendiri, diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri. Diatur juga dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.

Merujuk dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 disebutkan, penggunaan senjata api hanya boleh dilakukan untuk melindungi nyawa manusia.

Di dalam Peraturan Kapolri, diatur juga tentang syarat-syarat lebih lanjut, bahwa senjata api hanya boleh dipergunakan dalam keadaan saat membela diri dari ancaman luka berat atau kematian, dan mencegah terjadinya kejahatan berat.

Dijelaskan, sebelum senjata api digunaka, polisi perlu memberi peringatan dengan ucapan yang jelas kepada sasaran. Maksudnya, sasaran itu diminta untuk berhenti dan menunggu agar peringatan diindahkan.

Namun, dalam beberapa kondisi, peringatan tidak perlu diberikan. Terlebih, ketika kejadian yang berlangsung berada dalam jarak dekat sehingga tidak bisa lagi untuk menghindar.

Baca Juga: PM Israel Yair Lapid Dukung Palestina Merdeka, Netizen Indonesia : Tumben!!!

Aparat kepolisian pun memiliki kewenangan diskresi. Artinya, keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi.

Persoalan dimaksud terkait penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintah.

Kewenangan diskresi itu, termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Adapun persayaratan melakukan tindakan lain yang dinyatakan dalam pasal tersebut, sebagai berikut.

Pertama, tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.

Kedua, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan.

Ketiga, harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.

Keempat, pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.

Kelima, menghormati hak asasi manusia.

Namun demikian, polisi tidak bisa dan dilarang mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang diduga melakukan tindakan pidana, hal ini termasuk di dalamnya tindak pidana perampokan dan terorisme.

Eksekusi mati, hanya bisa dilakukan oleh regu penembak yang ditentukan oleh undang-undang. Dan, hanya bisa dilaksanakan setelah ada putusan pidana mati yang berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.

Baca Juga: Buntut Hakim Agung Diduga Korupsi, Komisi Yudisial dan KPK ‘Serang’ Mahkamah Agung

Diketahui, menembak mati pelaku tindak pidana dapat dibenarkan apabila dilakukan dalam rangka menjalankan tugas seperti penangkapan, dan dilakukan dalam keadaan terpaksa atau pembelaan terpaksa.

Pembelaan terpaksa pun harus sesuai dengan Pasal 49 KUHP, yaitu dilakukan untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Jika kemudian, pihak keluarga merasa bahwa penembakan yang menewaskan anggota keluarganya yang dilakukan polisi dalam rangka menjalankan tugas penangkapan itu melanggar hukum, maka pihak keluarga dapat menempuh upaya hukum praperadilan.

Upaya hukum itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai dalam Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 77 KUHAP.***

Editor: Efriyanto Tanouf

Sumber: KontraS hukum online


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x