Hari ini Mengenang 57 Tahun Lalu, Kronologi Kekejaman Gerakan 30 September 1965 G30S PKI

- 30 September 2022, 01:58 WIB
Gambar 7 Pahlawan Revolusi
Gambar 7 Pahlawan Revolusi /Anggel/Screenshot RRI

MEDIA KUPANG - Hari ini tanggal 30 September kita mengenang kembali peristiwa 57 tahun lalu yang menjadi salah satu sejarah bangsa ini. 

Sejarah bangsa yang dikenal dengan sebutan G30S PKI.

Sejarah di mana para jenderal kita dibantai kelompok yang menganut paham komunis.

Mereka menyiksa dan membunuh tanpa rasa kemanusiaan.

Berikut ini kronologi G30S PKI yang dikutip dari youtube chanel @T.K.P

Baca Juga: Ternyata Anne Ratna Mustika Adalah Istri Kedua Dedi Mulyadi

Gerakan 30 September merupakan sebuah gerakan kudeta yang terjadi pada Tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965.

Gerakan G30 SPKI ini, dipercaya didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit.

Gerakan ini menyasar kepada Tujuh Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat yakni Jenderal A.H Nasution, Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal M.T Harjono, Mayor Jenderal S.Parman, Brigadir Jenderal D.I Panjaitan dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.

Dan akibatnya keenam dari tujuh sasaran utama tersebut menjadi korban. Sementara Jenderal A.H Nasution yang menjadi target utama luput dari gerakan tersebut. Namun ajudanya yakni Letnan Satu Pierre Andries Tendean harus gugur dalam tugasnya karena mengaku sebagai Jenderal A.H Nasution.

Baca Juga: Geger, Ibu Kepsek dan Wakilnya Sedang Indehoi di Kamar Hotel Ketika Digerebek, Mengaku Baru Masuk Setengah

Peristiwa Gerakan 30 September juga diikuti oleh serangkaian pembunuhan maassal diberbagai daerah di Indonesia. Pembunuhan tersebut tidak pernah diungkapkan dalam catatan sejarah baik jumlah, serta prosesnya.

Pada pagi hari, sekitar Pukul 03.00 WIB, pada tanggal 1 Oktober 1965, Komandan Satuan Tugas Pasopati, Letnan Intvantri Dul Arief membentuk Tujuh Pasukan dari Satuan Tugas Pasopati di Lubang Buaya.

Pembentukan pasukan tersebut, ditujukan untuk menculik ketujuh Jenderal. Setelah seluruh pasukan dipersiapkan, pasukan tersebut berangkat menuju target sasaran menggunakan Jit, Truk dan Bus.

Ketujuh regu berangkat menuju daerah Menteng, Jakarta Pusat.

Setelah sampai, pasukan yang ditugaskan utuk menculik Letnan Jenderal Ahmad Yani masuk kedalam pekarangan rumah langsung menuju Tim Pengawal yang menjaga lalu Letnan Jenderal Ahmad Yani muncul.

Pemimpin pasukan segera memberitahu Letnan Jenderal Ahmad Yani bahwa Presiden Soekarno memanggil Beliau untuk menghadap keistana secepatnya.

Kemudian Letnan Jenderal Ahmad Yani meminta izin untuk mandi dan berganti pakaian terlebih dahulu. Namun, hal tersebut ditolak.

Lalu Letnan Jenderal Ahmad Yani memukul salah satu anggota pasukan dan kembali kekamar dan menutup pintu kaca.

Pemimpin pasukan langsung memerintahkan Sersan Duagijadi untuk menembak, akhirnya tujuh peluru menembus kaca dan membunuh Letnan Jenderal Ahmad Yani ditempat.

Pasukan kedua yang ditugaskan untuk menculik Mayor Jenderal M.T Harjono yang dipimpin oleh Sekabungkus, tiba di kediaman Mayor Jenderal M.T Haryono sekitar Pukul `03.30 dini hari.

Akibat derap langkah pasukan tersebut, Mayor Jenderal M.T Harjono terbangun.

Tak lama kemudian mendengar suara ketukan pintu yang sangat keras, ketukan tersebut tidak mendapatkan respon apapun dari pihak yang dirumah.

Akhirnya Serka Bungkus memutuskan utuk mendobrak pintu dikarenakan keadaan rumah yang sangat gelap, sesaat setelah memndobrak Serka Bungkus melihat adanya bayangan yang bergerak dan tanpa berpikir panjang, Ia melepaskan tembakan terhadap bayangan tersebut.

Sayangnya bayangan tersebut adalah Mayor Jenderal M.T Harjono yang seketika tewas akibat peluru yang dilepaskan Serka Bungkus.

Sekitar pukul 04.00 dini hari Pasukan yang ditugaskan untuk menculik Mayor Jenderal Raden Soeprapto tiba.

Pasukan terdiri dari 19 orang yang dipimpin oleh Serka Sulaiman dan Serda Sukiman tidak dibutuhkan waktu yang lama, pasukan tersebut berhasil menguasai area kediaman rumah Mayor Jenderal Raden Soeprapto.

Akhirnya setelah mendengar suara gaduh, Mayor Jenderal Raden Soeprapto keluar dan mendapati Pasukan Cakra Birawa telah memenuhi halaman rumahnya.

Kopral Dua Suparman langsung meminta Mayor Jenderal Raden Soeprapto utuk ikut bersama pasukan untuk menemui Presiden Soekarno di Istana.

Akibat desakan yang diberikan oleh pasukan Cakra Biarawa, tanpa berdebat panjang Mayor Jenderal Raden Soeprapto akhirnya ikut dengan rombongan pasukan tersebut segera menuju Lubang Buaya.

Pada pukul 04.00 dini hari Pasukan Penculik Mayor Jenderal S.Parman tiba di Jalan Sera.

Suara gaduh terdengar, Mayor Jenderal S.Parman mengira ada perampokan yang terjadi di sebelah rumahnya namun tenyata suara gaduh tersebut berasal dari Pasukan Cakra Biarawa yang telah memenuhi kediaman Mayor Jenderal S.Parman.

Pimpinan Pasukan tersebut menjelaskan kepada Mayor Jenderal S.Parman bahwa mereka ditugaskan untuk menjemput Mayor Jenderal S.Parman atas perintah langsung dari Presiden Soekarno.

Untuk mengonfirmasi berita tersebut, Mayor Jenderal S.Parman langsung memerintahkan istrinya unutk menghubungi Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Namun Pasukan Cakra Biarawa merusak telephone tersebut. Dan segera membawa Letnan Jenderal Ahmad Yani pergi meninggalkan kediamannya.

Bergeser ke daerah Blok M Kebayoran Baru tepatnya pada Jalan Hasanudin, Pasukan tiba di kediaman Brigadir Jenderal D.I Panjaitan.

Pasukan penculik berusaha memasuki kediaman rumah Brigadir Jenderal D.I Panjaitan.

Namun pasukan tersebut disambut oleh Albert Naiborhn dan Viktor Naiborhn yang pasukan tersebut mengira adalah perampok.

Namun mereka berdua harus gugur dikarenakan oleh penembakan Pasukan Cakra Biarawa.

Brigadir Jenderal D.I Panjaitan yang telah merasa keselamatan keluarganya terancam, memakai pakaian dinas lengkap dan bergegas turun menemui pasukan.

Dan saat sedang memanjatkan doa di pelataran rumah, Brigadir Jenderal D.I Panjaitan ditembak oleh Pasukan penculik Cakra Biarawa dan tewas seketika.

Tak jauh dari kediaman Brigadir Jenderal D.I Panjaitan, Akid Polisi Dua Sukidman sedang berpatroli dijalan Iskandarsyah.

Beliau juga ditangkap oleh Pasukan Penculik dan dibawa menuju Lubang Buaya.

Sesaat setelah sampai dikediaman Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Pasukan Penculik yang dipimpin oleh Sermas Suryono bergerak cepat dan behasil membujuk Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo untuk ikut bersama Pasukan daan kemudian dimasukan kedalam truk pengangkut menuju Lubang Buaya.

Sesaat setelah tiba di Jalan Tengku Marpetek Jakarta Pusat, Pasukan Penculik yang dipimpin oleh pembantu Letnan Dua Yuru langsung begerak memasuki kedalam pekarangan rumah Jenderal A.H Nasution.

Istri Jenderal A.H Nasution yeng mendengar suara kegaduhan diluar memeriksa keadaan, namun tidak lama kemudian ia langsung bergegas kembali kekamar dan memberitahu Jenderal A.H Nasution bahwa Pasukan Cakra Biarawa telah memenuhi kediaman rumahnya.

Mendengar suara tembakan, Mardia yang merupakan adik dari Jenderal A.H Nasution segera menyelamatkan anak dari Jenderal A.H Nasution yakni Ade Irma Suriayani.

Namun naas Ade Irma tertembak timah panas dari Pasukan Cakra Birawa.

Jenderal A.H Nasution yang dipaksa menyelamatkan diri oleh keluarganya, lompat pagar Kedutaan Besar Irakh hingga mematahkan kakinya.

Setelah mendengar kegaduhan yang terjadi , Letnan Satu Pierre Andries Tendean bergegas keluar.

Namun sesaat setelah keluar kamar, Letnan Satu Pierre Andries Tendean dihadang oleh Pasukan Cakra Biarawa yan mengira bahwa Letnan Satu Pierre Andries Tendean adalah Jenderal A.H Nasution.

Kemudian Letnan Satu Pierre Andries Tendean segera dibawah oleh Pasukan menuju Lubang Buaya.

Tiga hari kemudian, tepatnya pada tanggal 4 Oktober 1965, ketujuh korban Gerakan 30 September ditemukan tidak bernyawa dan terkubur di dalam Sumur Tua di daerah Lubang Buaya Jakarta Timur.

Ketujuh korban dianugerahi Gelar Pahlawan Revolusi dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.***

Editor: Ryohan B

Sumber: youtube chanel @T.K.P


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x