Linda Tagie, salah satu anggota jaringan itu meminta GMIT menindak tegas oknum Vikaris SAS yang diketahui bertugas di Gereja GMIT Siloam Nailang, Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor.
“Kami mendesak GMIT untuk ambil tindakan tegas. Tidak hanya menangguhkan status Vikaris pelaku,” kata Linda.
Lebih lanjut, aktivis sekaligus seniwati asal NTT itu menegaskan, pihak GMIT seharusnya “mencoret pelaku dari daftar calon Pendeta GMIT yang akan ditahbis.”
Pihaknya pun mendesak GMIT menginvestigasi dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Pendeta, Vikaris, dan staf gereja. Selain itu, aktif melaporkan kepada kepolisian sesuai hukum yang berlaku.
Desakan lain dari Jaringan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yaitu meminta GMIT agar menyediakan layanan pengaduan bagi korban kekerasan seksual.
Lebih lanjut, GMIT pun didesak membuat protokol pencegahan kekerasan seksual terhadap anak, perempuan, dan kelompok rentan dalam lingkup gereja GMIT. Dan, para pelaku dapat diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Para aktivitis, juga lembaga dan beberapa komunitas dimaksud pun berharap agar GMIT mencegah upaya penyelesaian di luar proses hukum seperti mediasi, meja adat, dan kekeluargaan.
Hal itu dinilai, berpotensi mencederai hak korban dan keluarga. Lebih dari itu, memperkuat rantai impunitas pelaku kekerasan seksual.***