Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“ terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tak menepati saatnya sehingga melahirkan "Afal yang dibuat Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“, serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya, adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa sudah berdominasi.
Gerakan 30 September 1965, secara politik dikelola oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim.
Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan aktivitas operasi dikelola dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih seluruh wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang berasal dari Dewan Militer. Tapi sesudah nampak bahwa gerakan hendak merasakan kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tak jadi sesuai dengan rencana, karenanya dewan ini tak berfungsi lagi.
Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan kemudian.***