Studi Konflik Kepentingan Pejabat Publik, Peneliti APPeK dan ICW temukan Oknum DPRD NTT aktif Main Proyek

30 Maret 2023, 21:43 WIB
Peneliti Bengkel APPeK, U R Laduanwang /Facebook U R Landuawang/

MEDIA KUPANG - LSM Bengkel APPeK dan Indonesian Corruption Watch melakukan riset tentang Konflik Kepentingan pejabat publik DPRD NTT bidang Sumber Daya Alam.

Riset dengan yang dilakukan sejak September 2022 sampai dengan Maret 2023 tersebut memfokuskan pada studi putusan kasus korupsi yang melibatkan mantan anggota DPRD NTT Periode 2014-2019 Jefri Un Banunaek.

Dalam rilis yang diterima MediaKupang.com kamis 30 Maret 2023, menyebutkan bahwa  Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, dari 533 kasus korupsi yang ditindak oleh aparat penegak hukum pada tahun 2021, terdapat 1.173 tersangka yang sebagian besarnya merupakan pejabat publik.

Pantauan ICW Sepanjang 2003 – 2022 turut menunjukkan sedikitnya 167 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dan ditangani oleh KPK.

Jumlah tersebut berpotensi lebih besar jika diakumulasikan dengan kasus yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Baca Juga: Bus Lintas Batas Resmi Beroperasi, Tarif PP Dili – Kupang 80 Dollar

Pemantauan ICW terhadap kasus korupsi anggota legislatif sepanjang 2014–2019 juga menunjukkan terdapat 22 anggota DPR RI terjerat kasus korupsi.

Korupsi Politik dari total 1.519 orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK, 521 orang diantaranya berasal dari sektor politik.

Berdasarkan hasil penelusuran media yang dilakukan oleh tim peneliti yang teridiri U. R. Landuawang dan Tarsianus Tani dari Bengkel APPeK tersebut  menemukan bahwa berdasarkan hasil keputusan Pengadilan ditemukan Pejabat publik yang terindikasi konflik kepentingan dibidang sumber daya alam.

Jefri Un Banunaek yang merupakan mantan Anggota DPRD Propinsi NTT dari Partai PKPI Komisi IV periode 2014 – 2019, terlibat aktif dalam Proyek Pembangunan Embung di Desa Mnelalete Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2015 - 2016.

Karena keterlibatan Jefri Un Banunaek tersebut, akhirnya yang bersangkutan diputus  bersalah berdasarkan putusan pengadilan Nomor 55/Pid.Sus-TPK/2019/PN Kpg, Nomor 12/PID.SUS-TPK/2020/PT KPG, dan Nomor 3429 K/Pid.Sus/2020.

Baca Juga: K.A.Halim, Penumpang Lintas Batas Pemberlakuan Dokumen Sama, Tidak Ada Yang Dibedakan!!

Menariknya, dari hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa :

1. Jefri Unbanunaek ikut terlibat Penyelesaian pembangunan embung Mnelalete yang dikerjakan oleh adiknya Jemmy Unbanunaek. Karena semua aktivitas pekerjaan, Jefri yang bertanggungjawab, mulai dari pengadaan peralatan sampai pada pelaksanaannya, dan juga penyelesaian pekerjaan. Keberadaan CV Belindo Karya dan adiknya, hanya menjadi bagian dari skenario untuk menutupi keterlibatannya secara langsung dalam proyek tersebut

2. Jefri Unbanunaek menggunakan kuasanya sebagai anggota DPRD Provinsi NTT Dapil Kabupaten TTS untuk mengintervensi/mempengaruhi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten TTS sebagai PPK agar pembangunan embung tetap dijalankan walapun waktu pelaksanaannya sudah tidak memungkinkan serta memastikan anggaran tetap di alokasikan untuk pembuatan embung. Bahkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PPK dalam mengeluarkan SPM ataupun laporan realisasi perkembangan pekerjaan atas pengaruh atau tekanan dari Jefri. Sehingga sekalipun prosesnya tidak berjalan sesuai perencanaan, tetapi proyek tersebut tetap dilanjutkan dan bahkan dialokasikan kembali anggarannya.

Baca Juga: FIFA Resmi Coret Indonesia Sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U20 2023

3. Jefri Un Banunaek menggunakan pengaruhnya supaya anggaran proyek embung ditransfer ke rekening pribadinya.

4. Melakukan pembayaran pada beberapa rekanan yang bukan merupakan kewenangannya

5. Jefri Unbanunaek tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap pembangunan embung. Namun Jefri malah menjadi pelaku dalam proyek tersebut dengan memanfaatkan keluarga dan rekannya untuk kepentingan pribadi.

Dari hasil penelitian tersebut, Bengkel APPeK dan ICW kemudian merekomendasikan sejumah hal kepada partai Politik, Badan Kehormatan DPRD NTT serta Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum.

Untuk partai Politik, peneliti merekomendasikan beberapa hal yaitu :

1. Partai Politik membertimbangkan dan memasukkan kepemilikan bisnis sebagai indikator menilai konflik kepentingan sebelum menempatkan anggota terpilih di dalam komisi, di DPRD NTT.

Baca Juga: 7.363 Pakaian Bekas Impor Ilegal Dimusnahkan Pemerintah, Ditafsir Nilainya Mencapai 80 M

2. Partai Politik harus mengurai secara rinci dan memasukkan konflik kepentingan dalam kode etik internal.

3. Partai Politik harus membuka kanal pelaporan di internal kepada masyarakat terkait anggotanya yang terindikasi konflik kepentingan dan terus melakukan sosialisasi pada anggotanya.

Untuk Badan Kehormatan DPRD NTT, peneliti merekomendasikan :
1. Badan Kehormatan perlu ada mekanisme refleksi dan evaluasi untuk memastikan dan mengupdate peran anggota DPRD dalam menjalankan fungsi dalam menjaga marwah lembaga

2. Angggota BK dapat berasal dari internal DPRD dan pihak eksternal (representasi publik) secara proporsional yang memiliki independensi dan integritas yang kuat untuk menetralisir konflik kepentingan anggota BK yang berasal dari fraksi-fraksi karena masyarakat punya hak untuk mengontrol bagaimana tugas pelaksanaan DPRD ini.

Baca Juga: MenKopUKM Usulkan Ada Pelabuhan Khusus Pakaian Impor Antisipasi Penyelundupan Barang Ilegal

3. Fungsi BK dalam penegakan kode etik bersifat rekomendasi. Jadi jika ada laporan yang sifatnya pidana/perdata maka BK merekomendasikan hasil kajian kasus tersebut ke pihak hukum untuk diproses lebih lanjut. Jika berhubungan dengan pergantian maka direkomendasikan kepada partai melalui Fraksi di DPRD untuk diputuskan oleh partai.

Sehingga BK tidak terlalu jauh masuk dalam urusan konflik kepentingan masalah-masalah dimaksud (sering ada kasus yang proses peradilan dan putusan pengadilan berbeda dengan kajian dan keputusan BK).

Untuk Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum, peneliti merekomendasikan :

1. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menjamin bahwa masyarakat yang melaporkan dugaan konflik kepentingan pejabat, khususnya anggota legislatif, tidak dapat dituntut, baik secara pidana maupun perdata dengan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

2. Merevisi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dengan tujuan mengatur ulang perihal konflik kepentingan. Revisi perlu memberikan kewenangan kepada KPK sebagai lembaga yang mengawasi pengelolaan konflik kepentingan secara terpusat.

Baca Juga: Tidak Terbukti Kelalaian Penggunaan Anggaran, Donatus Nanak Seran Kembali Terpilih Kepala Desa Raimataus

3. memberikan penjelasan setiap sumber-sumber konflik kepentingan secara lebih aplikatif khususnya yang berkaitan dengan hubungan atau afiliasi pribadi/keluarga/kekerabatan/bisnis, serta meluruskan paradigma bahwa konflik kepentingan tidak hanya berdimensi pada penindakan terhadap pelanggaran tetapi juga kewajiban untuk mengelolanya.

4. Undang-undang tersebut juga perlu mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah yang digunakan untuk mengatur secara lebih detail pedoman pengelolaan konflik kepentingan bagi institusi publik.

5. Meningkatkan level peraturan pedoman pengelolaan konflik kepentingan yang saat ini ada dalam Permenpan RB 37/2012 menjadi Peraturan Pemerintah. Secara substansi, pedoman yang saat ini ada dalam Permenpan RB 37/2012 juga perlu diperbaiki dalam berbagai aspek mulai dari memberikan definisi konflik kepentingan secara lebih aplikatif, menjangkau ruang lingkup setiap pejabat publik, menjelaskan dimensi konflik kepentingan untuk setiap jenis jabatan publik di seluruh cabang kekuasaan (yudikatif, eksekutif, legislatif), yang tidak hanya bertumpu pada atasan langsung, serta mekanisme pengaduan masyarakat yang lebih aksesibel dan berbasis pada perlindungan pelapor.

Baca Juga: Demo 5 Jam Di Kejari Alor Meski Hujan Pendemo Tidak Mundur, Aksi Goyang Pagar Hingga Tuntut Proses Hukum

6. Peraturan Pemerintah ini juga perlu mengamanatkan kepada masing-masing institusi publik untuk menyusun pedoman pengelolaan konflik kepentingan secara lebih spesifik sesuai dengan tugas pokok dan fungsi institusi publik.

7. Memberikan kewenangan kepada KPK melalui revisi UU Administrasi Pemerintahan sebagai lembaga yang melakukan pengawasan pengelolaan konflik kepentingan untuk seluruh institusi publik melalui sistem yang terintegrasi

8. Setiap institusi publik perlu memiliki unit kerja yang bertugas mengelola konflik kepentingan, baik dengan membentuk unit kerja khusus ataupun memberikan kewenangan pada unit kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan, menerima pengaduan masyarakat atas dugaan konflik kepentingan serta monitoring dan evaluasi terhadap implementasi pengelolaan konflik kepentingan. dengan mengintegrasikan sistem yang dibangun oleh KPK.

9. Lembaga negara di tingkat pusat perlu mendesain dan mendorong program peningkatan kapasitas setiap pejabat publik terhadap konsep dan prinsip-prinsip pengelolaan konflik kepentingan.***

Editor: Primus Nahak

Tags

Terkini

Terpopuler