Tradisi Kawin Tangkap atau Piti Rambang di Sumba, Perempuan Diculik untuk Dijadikan Istri

- 7 September 2023, 21:07 WIB
Kolase Foto Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya
Kolase Foto Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya /Tangkapan Layar Instagram @memomedsos/

MEDIA KUPANG - Beredar sebuan video viral di platform media sosial seperti Instagram dan YouTube yang menunjukkan praktek kawin tangkap atau kawin paksa di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi NTT, Kamis 7 September 2023.

Dikutip dari akun Instagram @memomedsos, Kamis 7 September 2023, kejadian penangkapan perempuan untuk dikawin paksa itu terjadi di Simpang pertigaan Kalembuweri, Jalur Tena Teke dan Jalur Rara, Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya(SBD).

Tradisi Kawin Tangkap di Sumba

Dikutip MediaKupang.com dari warmadewa.ac.id, Kamis 7 September 2023, menyebutkan bahwa tradisi kawin tangkap atau Piti Rambang Suku Sumba di Nusa Tenggara Timur ini masih ada dan dilakukan secara terus menerus dengan adanya pemaksaan perkawinan kepada perempuan Sumba yang mengakibatkan korban mengalami kekerasaan secara fisik, s*ks**l, psikis dan sosial.

Baca Juga: Pengawasan Dana Desa oleh BPD Belum Maksimal, Kemendes PDTT Ungkap 9 Masalah Ini

Bahwa tradisi yang kuat dan tak terelakan dalam kultur masyarakat Suku Sumba yang masih berbudaya patriakal menjunjung tinggi adat-istiadat dan budaya ini memfasilitasi pihak laki-laki.

"Kekerasan kawin tangkap merupakan bukti bahwa perempuan tidak bebas untuk menjalani kehidupan sendiri dan menentukan pilihan atas masa depan mereka sendiri. Kawin tangkap terbukti memposisikan perempuan seperti barang atau objek negosiasi dan bukan subjek (manusia) yang dihargai dan didengarkan pendapat dan keinginannya dalam bagian dari budaya Sumba yang dipraktikkan oleh masyarakat secara berulang.

Norma dalam praktik kawin tangkap yang berkembang dan berlindung dibalik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum yang melanggar hak asasi manusia yang dijalankan dalam nilai agama, sopan santun, dan kesusilaan di kehidupan masyarakat.

Nuansa budaya masih dibenarkan untuk suatu tindakan premanisme, hal ini karena masyarakat lebih mematuhi adat yang dianut dari pada hukum negara," tulis Elanda Welhelmina Doko, I Made Suwetra, & Diah Gayatri Sudibya dari Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar-Bali dalam jurnal Konstruksi Hukum yang diterbitkan pada September 2021.

Halaman:

Editor: Primus Nahak


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x